Rabu, 23 Oktober 2013

Teori-teori Kemiskinan


Pada dasarnya, kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks, berwajah banyak, dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan ataupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling berdayaguna, signifikan, dan relevan, pengkajian konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan. Pengupayaan tersebut tentu sangat berarti sehingga kemiskinan tidak lagi menjadi masalah dalam kehidupan manusia.
Seperti diketahui, terdapat banyak teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Teori-teori tersebut antara lain:
Teori Neo-Liberal.
Shanon, Spicker, Cheyne, O’Brien dan Belgrave berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan dan pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang sendirinya jika kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat residual sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai penjaga yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya.

Teori Sosial Demokrat
Teori ini memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individu, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses kelompok kepada sumber kemasyarakatan. Teori sosial demokrat menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar bagi seluruh warga negara dan dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi manajemen permintaan gaya Keynesian. Meskipun teori ini tidak setuju sepenuhnya terhadap pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak anti sistem ekonomi kapitalis. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk organisasi ekonomi yang paling efektif. Hanya saja sosial demokrat merasa perlu ada sistem negara yang mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki sumber kesejahteraan. Kebebasan lebih dari sekedar bebas dari pengaruh luar, melainkan bebas pula dalam menentukan pilihan.

Teori Marjinal
Teori ini berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi dikarenakan adanya kebudayaan kemiskinan yang tersosialisasi di kalangan masyarakat tertentu.
Oscar Lewis (1966) adalah tokoh dari aliran teori marjinal. Konsepnya yang terkenal adalah Culture of Poverty. Menurut Lewis, masyarakat di dunia menjadi miskin karena adanya budaya kemiskinan dengan karakter apatis, menyerah pada nasib, sistem keluarga yang tidak mantap, kurang pendidikan, kurang ambisi membangun masa depan, kejahatan dan kekerasan banyak terjadi.
Ada dua pendekatan perencanaan yang bersumber dari pandangan teori marjinal:
  • Prakarsa harus datang dari luar komunitas;
  • Perencanaan harus berfokus pada perubahan nilai, karena akar masalah ada pada nilai.

Teori Development
Teori Developmental (bercorak pembangunan) muncul dari teori-teori pembangunan terutama neo-liberal. Teori ini mencari akar masalah kemiskinan pada persoalan ekonomi dan masyarakat sebagai satu kesatuan.
Ada tiga asumsi dasar dari teori ini:
  • Negara menjadi miskin karena ketiadaan atribut industrialisasi, modal, kemampuan manajerial, dan prasarana yang diperlukan untuk peningkatan ekonomi.
  • Pertumbuhan ekonomi adalah kriteria utama pembangunan yang dianggap dapat mengatasi masalah-masalah ketimpangan.
  • Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya bila pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya.
Ketiga asumsi tersebut memperlihatkan bahwa kemiskinan yang terjadi bukanlah persoalan budaya, sebagaimana anggapan teori marjinal melainkan adalah persoalan ekonomi dan pembangunan.

Teori Struktural
Teori ini didasari oleh pemikiran yang berasal dari teori ketergantungan yang diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (1967), Capitalism and the Underdevelopment in Latin America, dan juga oleh Teothonio Dos Santos dan Samir.
Teori struktural berasumsi bahwa kemiskinan terjadi bukan karena persoalan budaya dan pembangunan ekonomi, melainkan politik-ekonomi Dunia.
Teori ketergantungan mengajukan tiga asumsi utama:
  • Dunia didominasi oleh suatu perekonomian tunggal sedemikian rupa sehingga semua negara di dunia diintegrasikan ke dalam lingkungan produksi kapitalisme yang menyebabkan keterbelakangan di negara miskin.
  • Negara-negara inti menarik surplus dari negara miskin melalui suatu matarantai metropolis-satelit.
  • Sebagai akibatnya negara miskin menjadi semakin miskin dan negara kaya semakin kaya.
Dengan berdasar pada asumsi teori ketergantungan tersebut teori struktural mengajukan asumsi bahwa kemiskinan di dunia harus dilihat pada suatu konstelasi ekonomi internasional dan struktur politik global yang menerangkan bahwa ketergantungan yang menjadi penyebab negara terbelakang dan masyarakatnya menjadi miskin.

Teori Artikulasi Moda Produksi
Teori ini adalah salah satu teori yang dikembangkan oleh Pierre Phillipe Rey, Meillassoux, Terry, dan Taylor, dari pemikiran karya Karl Marx dan Frederic Engels mengenai Moda Produksi (Mode of Production). Teori ini berasumsi bahwa reproduksi kapitalisme di negara-negara miskin terjadi dalam suatu simultanitas tunggal di mana pada sisi negara miskin terjadi artikulasi dari sedikitnya dua moda produksi (moda produksi kapitalis dan pra-kapitalis). Koeksistensi dari kedua moda produksi tersebut menghasilkan eksploitasi tenaga kerja murah dan problem akses bagi kelompok masyarakat miskin yang masih tetap berada dalam ranah moda produksi pra-kapitalis.
Strategi penanganan kemiskinan yang ditawarkan oleh teori artikulasi moda produksi dikenal dengan person in environtment dan person in situation yang dianalogikan sebagai strategi ikan-kail memberikan keterampilan memancing, menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan oleh kelompok elit dalam masyarakat, dan mengupayakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan.
Teori artikulasi moda produksi melandasi dua macam pendekatan yaitu moderat (pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial, program jaminan perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial, program pemberdayaan masyarakat) dan radikal (di dalam masyarakatlah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan yang menyebabkan taraf hidup sebagian masyarakat tetap rendah sehingga kebijakan paling tepat adalah reformasi dan transformasi).

Mengapa Perlu Mempelajari Manajemen Keuangan Perusahaan?




Terkadang beberapa orang tidak sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka memerlukan ilmu manajemen keuangan untuk mengelola dana yang ada di tangannnya. Apabila dana yang ada di tangan tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, maka dana yang tadinya cukup melimpah malah akan bisa jadi semakin berkurang karena kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan dana. Di sinilah letak pentingnya kita mempelajari tentang manajemen keuangan, bahkan mempelajari hal ini tidak harus ditempuh lewat jalur akademik.

Seorang ibu rumah tangga pun, sebenarnya perlu mempelajari tentang manajemen keuangan secara sederhana karena berkaitan dengan perannya yaitu mengelola keuangan rumah tangga sehingga dana yang ada bisa dimaksimalkan penggunaannya dan pengeluaran tidak melebihi anggaran yang ada.

Manajemen keuangan sendiri sangat berhubungan dengan aktivitas penggunaan dana, perolehan dana, dan pengelolaan aktiva. Sedangkan, fungsi dari manajemen keuangan tersebut antara lain adalah perencanaan keuangan, penganggaran keuangan, pengelolaan keuangan, pencarian keuangan, penyimpanan keuangan, pengendalian keuangan, dan pemeriksaan keuangan. Tujuan dari manajemen keuangan itu sendiri adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan.

Apabila seseorang ingin menjadi seorang manajer keuangan, maka penting sekali baginya untuk mempelajari tentang manajemen keuangan. Manajer keuangan dapat mengetahui bagaimana mengelola segala unsur dan segi keuangan. Keuangan itu sendiri adalah salah satu fungsi penting dalam mencapai tujuan perusahaan.

Dengan mengetahui unsur-unsur manajemen dan mempelajarinya akan memberikan keuntungan tersendiri bagi kita agar mampu mengelola dana dengan baik, meminimalkan pengeluaran tetapi mampu untuk memaksimalkan hasilnya.

MDG (Millennium Development Goals) di Indonesia


MDG merupakan kependekan dari Millennium Development Goals yang dalam bahasa Indonesia berarti Tujuan Pembangunan Milenium. MDG adalah Deklarasi Milenium hadil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000. Tujuan-tujuan dalam MDG ini adalah antara lain memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem, mencapai pendidikan dasar keseluruhan, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, memastikan kelestarian lingkungan, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Di Indonesia, tujuan-tujuan MDG juga dijadikan sebagai dasar dalam penetapan suatu keputusan. Tapi pencapaian target-target MDG agaknya masih jauh dari pandangan. Hal ini terjadi karena banyak faktor, antara lain terkendalanya biaya karena Indonesia masih harus membayar utang luar negerinya serta sulitnya merubah pola pikir masyarakat kita. Salah satu tujuan yang masih sulit untuk dipenuhi adalah di bidang pendidikan.

Pendidikan adalah salah satu hal penting yang harus dimiliki manusia dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman.

Mengenai masalah pendidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas SDM dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi mengenai beasiswa dari sekolah sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Banyak sekali faktor yang menjadikan banyaknya permasalahan pendidikan di Indonesia. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikannya itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap memenuhi kebutuhan zaman bukannya yang bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk mempercerdas kehidupan bangsa, tentunya juga memperjelas arti transparansi dalam dunia pendidikan.