MDG merupakan kependekan dari
Millennium Development Goals yang dalam bahasa Indonesia berarti Tujuan
Pembangunan Milenium. MDG adalah Deklarasi Milenium hadil kesepakatan kepala
negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai
dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada
tahun 2015. Targetnya merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh
dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium dan diadopsi oleh 189 negara serta
ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000.
Tujuan-tujuan dalam MDG ini adalah antara lain memberantas kemiskinan dan
kelaparan ekstrem, mencapai pendidikan dasar keseluruhan, mempromosikan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi angka kematian anak,
meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya,
memastikan kelestarian lingkungan, dan mengembangkan kemitraan global untuk
pembangunan.
Di Indonesia, tujuan-tujuan MDG juga dijadikan sebagai
dasar dalam penetapan suatu keputusan. Tapi pencapaian target-target MDG
agaknya masih jauh dari pandangan. Hal ini terjadi karena banyak faktor, antara
lain terkendalanya biaya karena Indonesia masih harus membayar utang luar
negerinya serta sulitnya merubah pola pikir masyarakat kita. Salah satu tujuan
yang masih sulit untuk dipenuhi adalah di bidang pendidikan.
Pendidikan adalah
salah satu hal penting yang harus dimiliki manusia dalam usaha untuk mencapai
kesejahteraan hidupnya. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya
manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama
dengan tuntutan zaman.
Mengenai masalah
pendidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini
tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa
masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan
aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita
kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya
rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi,
maupun kota.
Penyelesaian
masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi
harus ditempuh langkah yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya
memperhatikan kepada kenaikan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas
SDM dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan
wajib belajar sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita.
Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang
tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program
wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak
yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun.
Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan,
sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi
bertahan pada kompetisi di era global.
Kondisi ideal dalam
bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga
tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal
tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu,
setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia
pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan
antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja
sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul
dengan mereka. Ditambah lagi publikasi mengenai beasiswa dari sekolah sangatlah
minim.
Sekolah-sekolah
gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar
yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan
birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya,
sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang
kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga
timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar
karena sangat memprihatinkan.”
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang
lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang
kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU
tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari
milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan
politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan
hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh
kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada
melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Banyak sekali faktor yang menjadikan banyaknya
permasalahan pendidikan di Indonesia. Namun sebenarnya yang menjadi masalah
mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikannya itu sendiri
yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari
sistem ini adalah manusia yang hanya siap memenuhi kebutuhan zaman bukannya
yang bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama
antara pemerintah dan masyarakat untuk mempercerdas kehidupan bangsa, tentunya
juga memperjelas arti transparansi dalam dunia pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar