Senin, 13 Mei 2013

Hukum Perjanjian


HUKUM PERJANJIAN

A.    DEFINISI HUKUM
Hukum adalah salah satu bagian dari norma. Hukum adalah norma atau peraturan yang dibuat oleh pejabat negara atau pihak yang berwenang dan adanya sanksi bagi yang melanggarnya. Hukum bertujuan mencapai ketertiban, dan menuju kepastian hukum.

B.     DEFINISI HUKUM PERJANJIAN
Hukum perjanjian adalah perbuatan hukum segi dua yang mengatur hukum antarpihak dimana pihak yang satu berjanji memberi sesuatu dan yang lain menerima, dimana pihak-pihak tersebut mengikat diri dalam suatu perjanjian. Hukum perjanjian ini biasanya berlaku ketika terkait dengan harta kekayaan.

C.    DEFINISI PERJANJIAN DAN PERIKATAN
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

D.    ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN
1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak atau sistem terbuka. Artinya, Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sistem terbuka, yang mengandung suatu asas kebebasan, membuat perjanjian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a.       Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.      Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c.       Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d.      Menentukan bentuk perjanjiannya yaitu tertulis maupun lisan.

2.      Asas Konsensualitas
Dalam Hukum Perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualitas. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat.
Arti asas konsensualitas ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.
Asas konsensualitas tersebut lazimnya disimpulkan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal”.
Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, namun cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualitas yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3.      Asas Pacta Sunt Servanda
Dalam Hukum Perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas kepastian hukum atau lebih dikenal dengan asas Pacta Sunservanda yang merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini berarti bahwa sebuah perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda tersebut lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti pada asas kebebasan berkontrak.

4.      Asas Itikad Baik
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

5.      Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan:
Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Sedangkan, Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:
Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan:
Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.

E.     SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN
Untuk sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diperlukan empat syarat:
1.      Adanya kesepakatan dari para pihak;
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
2.      Ada kemampuan untuk membuat perjanjian;
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
-          Orang-orang yang belum dewasa;
-          Orang yang tidak sehat pikirannya;
-          Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3.      Ada obyek yang diperjanjikan;
Apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
4.      Ada kausa yang halal.
Yang dimaksudkan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebagai contoh adalah apabila ada seseorang membeli pisau di toko dengan maksud untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut mempunyai suatu sebab atau kausa yang halal. Lain halnya, apabila soal membunuh itu dimasukkan dalam perjanjian, misalnya, si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang dengan pisau tersebut. Isi perjanjian ini menjadi sesuatu yang terlarang.
Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dalam hal suatu syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak memiliki kemampuan atau tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

F.     BATAL DAN PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam Hukum Perjanjian ada tiga sebab yang membuat perjanjian batal, yaitu adalah sebagai berikut:
1.      Paksaan
Paksaan yang dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau seseorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan di bawah sepucuk surat perjanjian, itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan disini, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuat itu.

2.      Kekhilafan atau kealpaan
Apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Kekhilafan mengenai barang, terjadi misalnya seseorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunannya saja. Kekhilafan mengenai orang, terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama.

3.      Penipuan
Apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya dan dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya.

G.    PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:
1.      Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang;
Contohnya: jual-beli, tukar-menukar, penghibahan (pemberian), sewa-menyewa, dan pinjam pakai.
2.      Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
Contohnya: perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat sebuah garansi, dan lain sebagainya.
3.      Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu;
Contohnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan yang sejenis dengan milik orang lain, dan lain sebagainya.

H.    ANEKA PERJANJIAN
1.      Jual Beli
Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dimana pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

2.      Tukar-Menukar
Tukar-menukar adalah suatu perjanjian dimana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain. Dalam dunia perdagangan perjanjian ini juga dikenal dengan nama barter.

3.      Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya manfaat dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.

4.      Sewa-Beli
Perjanjian sewa-beli dikonstruksikan sebagai suatu perjanjian sewa-menyewa dengan hak pilihan dari si penyewa untuk membeli barang yang disewanya. Maksud dari kedua belah pihak adalah tertuju kepada perolehan hak milik atas suatu barang disatu pihak dan perolehan sejumlah uang sebagai imbalannya dilain pihak.

5.      Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan
a.       Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu
Suatu pihak menghendaki pihak lawannya untuk melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut terserah kepada pihak lawan.
b.      Perjanjian kerja atau perburuhan
Suatu hubungan dimana satu pihak berhak memberikan perintah yang wajib ditaati oleh pihak yang lain.
c.       Perjanjian pemborongan pekerjaan
Suatu perjanjian antara seorang dengan orang lainnya, dimana pihak pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga pemborongan.

6.      Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.

7.      Persekutuan
Persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama.

8.      Perkumpulan
Perkumpulan atau perhimpunan adalah beberapa orang yang hendak mencapai suatu tujuan dalam bidang non-ekonomis bersepakat mengadakan suatu kerjasama yang bentuk dan caranya diletakkan dalam apa yang disebut sebagai anggaran dasar.

9.      Penghibahan
Penghibahan adalah suatu perjanjian dimana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

10.  Penitipan Barang
Penitipan terjadi apabila seorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat ia akan menyimpannya dan mengembalikan dalam wujud asalnya.

11.  Pinjam-Pakai
Pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lain untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang tersebut setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu akan mengembalikannya.

12.  Pinjam-Meminjam
Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain sejumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.

13.  Perjanjian Untung-Untungan
Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung-ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu.

14.  Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dimana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu utusan.

15.  Penanggungan Utang
Penanggungan adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar