HUKUM PERJANJIAN
A.
DEFINISI HUKUM
Hukum adalah salah satu bagian dari norma. Hukum
adalah norma atau peraturan yang dibuat oleh pejabat negara atau pihak yang
berwenang dan adanya sanksi bagi yang melanggarnya. Hukum bertujuan mencapai
ketertiban, dan menuju kepastian hukum.
B.
DEFINISI HUKUM PERJANJIAN
Hukum perjanjian adalah perbuatan hukum segi dua yang mengatur hukum
antarpihak dimana pihak yang satu berjanji memberi sesuatu dan yang lain
menerima, dimana pihak-pihak tersebut mengikat diri dalam suatu perjanjian.
Hukum perjanjian ini biasanya berlaku ketika terkait dengan harta kekayaan.
C.
DEFINISI PERJANJIAN DAN PERIKATAN
Suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
D.
ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN
1.
Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak
atau sistem terbuka. Artinya, Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa
saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sistem terbuka, yang mengandung suatu asas
kebebasan, membuat perjanjian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya
disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian.
“Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
a.
Membuat atau
tidak membuat perjanjian;
b.
Mengadakan
perjanjian dengan siapapun;
c.
Menentukan isi
perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d.
Menentukan
bentuk perjanjiannya yaitu tertulis maupun lisan.
2.
Asas Konsensualitas
Dalam Hukum Perjanjian berlaku suatu asas, yang
dinamakan asas konsensualitas. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat.
Arti asas konsensualitas ialah pada dasarnya
perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan.
Asas konsensualitas tersebut lazimnya disimpulkan
dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
“Untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. sepakat mereka yang mengikat
dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. suatu hal tertentu; 4.
Suatu sebab yang halal”.
Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, namun cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualitas yang dikenal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3.
Asas Pacta Sunt Servanda
Dalam Hukum Perjanjian berlaku suatu asas, yang
dinamakan asas kepastian hukum atau lebih dikenal dengan asas Pacta Sunservanda
yang merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini berarti
bahwa sebuah perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi
para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Asas ini merupakan asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta
sunt servanda tersebut lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata seperti pada asas kebebasan berkontrak.
4.
Asas Itikad Baik
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad
baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak
pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
5.
Asas Kepribadian
Asas
kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Inti
ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Sedangkan, Pasal 1340 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Hal ini
mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku
bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat
pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyatakan:
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Pasal ini
mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan
di dalam Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak hanya mengatur
perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya
dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
Jika
dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya
dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian,
Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang pengecualiannya,
sedangkan Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memiliki ruang lingkup
yang luas.
E.
SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN
Untuk sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diperlukan empat syarat:
1.
Adanya
kesepakatan dari para pihak;
Dengan
sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai
hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
2.
Ada kemampuan
untuk membuat perjanjian;
Orang
yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian adalah:
-
Orang-orang yang
belum dewasa;
-
Orang yang tidak
sehat pikirannya;
-
Orang perempuan
dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa
Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3.
Ada obyek yang
diperjanjikan;
Apa
yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
perselisihan.
4.
Ada kausa yang
halal.
Yang dimaksudkan
sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri.
Sebagai contoh adalah apabila ada seseorang membeli pisau di toko dengan maksud
untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut mempunyai
suatu sebab atau kausa yang halal. Lain halnya, apabila soal membunuh itu
dimasukkan dalam perjanjian, misalnya, si penjual hanya bersedia menjual
pisaunya kalau si pembeli membunuh orang dengan pisau tersebut. Isi perjanjian
ini menjadi sesuatu yang terlarang.
Dua syarat
pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif,
karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari
perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dalam hal suatu
syarat obyektif, kalau syarat itu
tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak
pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Dalam hal suatu
syarat subyektif, jika syarat itu
tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak memiliki kemampuan atau tidak
cakap untuk membuat suatu perjanjian.
F.
BATAL DAN PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam Hukum Perjanjian ada tiga sebab yang membuat
perjanjian batal, yaitu adalah sebagai berikut:
1.
Paksaan
Paksaan
yang dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan paksaan badan
(fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti
terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau seseorang dipegang tangannya
dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan di bawah sepucuk surat perjanjian,
itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan disini, yaitu sebagai salah
satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuat itu.
2.
Kekhilafan atau
kealpaan
Apabila
salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian,
ataupun mengenai dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut
harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai
hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Kekhilafan mengenai
barang, terjadi misalnya seseorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya
lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunannya saja.
Kekhilafan mengenai orang, terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera
mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang
tersohor, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang
kebetulan sama.
3.
Penipuan
Apabila
suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau
tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya
memberikan perizinannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya
dan dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya.
G.
PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk
dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:
1.
Perjanjian untuk
memberikan atau menyerahkan suatu barang;
Contohnya:
jual-beli, tukar-menukar, penghibahan (pemberian), sewa-menyewa, dan pinjam
pakai.
2.
Perjanjian untuk
berbuat sesuatu;
Contohnya:
perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk
membuat sebuah garansi, dan lain sebagainya.
3.
Perjanjian untuk
tidak berbuat sesuatu;
Contohnya:
perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan
perusahaan yang sejenis dengan milik orang lain, dan lain sebagainya.
H.
ANEKA PERJANJIAN
1.
Jual Beli
Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal-balik
dimana pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,
sedangkan pihak yang lainnya berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas
sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
2.
Tukar-Menukar
Tukar-menukar adalah suatu perjanjian dimana kedua
belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara
bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain. Dalam dunia perdagangan
perjanjian ini juga dikenal dengan nama barter.
3.
Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya
manfaat dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran
suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi
pembayarannya.
4.
Sewa-Beli
Perjanjian sewa-beli dikonstruksikan sebagai suatu
perjanjian sewa-menyewa dengan hak pilihan dari si penyewa untuk membeli barang
yang disewanya. Maksud dari kedua belah pihak adalah tertuju kepada perolehan
hak milik atas suatu barang disatu pihak dan perolehan sejumlah uang sebagai
imbalannya dilain pihak.
5.
Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan
a.
Perjanjian untuk
melakukan jasa-jasa tertentu
Suatu
pihak menghendaki pihak lawannya untuk melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai
suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut terserah kepada pihak lawan.
b.
Perjanjian kerja
atau perburuhan
Suatu
hubungan dimana satu pihak berhak memberikan perintah yang wajib ditaati oleh
pihak yang lain.
c.
Perjanjian
pemborongan pekerjaan
Suatu
perjanjian antara seorang dengan orang lainnya, dimana pihak pertama
menghendaki suatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas
pembayaran sejumlah uang sebagai harga pemborongan.
6.
Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian
dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari
satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan
membayar ongkosnya.
7.
Persekutuan
Persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang
atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai
dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama.
8.
Perkumpulan
Perkumpulan atau perhimpunan adalah beberapa orang
yang hendak mencapai suatu tujuan dalam bidang non-ekonomis bersepakat
mengadakan suatu kerjasama yang bentuk dan caranya diletakkan dalam apa yang
disebut sebagai anggaran dasar.
9.
Penghibahan
Penghibahan adalah suatu perjanjian dimana si
penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu.
10.
Penitipan Barang
Penitipan terjadi apabila seorang menerima suatu
barang dari orang lain, dengan syarat ia akan menyimpannya dan mengembalikan
dalam wujud asalnya.
11.
Pinjam-Pakai
Pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dimana pihak
yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lain untuk dipakai dengan
cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang tersebut setelah memakainya
atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu akan mengembalikannya.
12.
Pinjam-Meminjam
Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dimana pihak
yang satu memberikan kepada pihak yang lain sejumlah tertentu barang-barang
yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.
13.
Perjanjian Untung-Untungan
Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan
yang hasilnya mengenai untung-ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi
sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu.
14.
Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dimana
seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk atas
namanya menyelenggarakan suatu utusan.
15.
Penanggungan Utang
Penanggungan adalah suatu perjanjian dimana seorang
pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar